Jumat, 13 Februari 2015

Dago, Sebuah Makna Dalam Nama



    Jalan Dago, kalo ga kenal kayaknya kurang pas ya? hehehe. Sebagai warga Bandung pasti dong tahu nama daerah ini. dimulai dari perempatan Jalan merdeka (BIP) hingga ke arah Dago Pakar tersimpan banyak hal untuk dinikmati. Makanan, Mall, Butik, Distro you name it semua berderet rapi sepanjang jalan Dago atau jalan Ir. H. Djuanda ini. Namun, kembali ada satu hal yang menggelitik saya. Apasih artinya Dago itu?

    Semua bermula di jaman "baheula" ketika Bandung belum memasuki tahun 1900. daerah Dago masih merupakan daerah antah berantah yang terpencil. Di daerah ini hanya ada sebuah kampung kecil bernama kampung Banong, dan katanya konon dari nama kampung ini lah nama besar Bandung berasal entah betul atau tidak. Kampung Banong ini mulai dikenal ketika seorang "Juragan" kopi bernama Andress de Wilde mendirikan sebuah rumah untuk beristirahat disana.

    Konon juga menurut cerita para tetua pada jaman baheula ketika kota Bandung masih dikelilingi oleh banyak hutan rimba, orang - orang dari daerah Bandung utara jika hendak kepasar membeli kebutuhan atau menjual hasil kebun dan lain sebagainya ke daerah kota Bandung harus melewati daerah Dago. 

    Di sekitar hutan tersebut banyak penjahat, begal yang suka bersembunyi dan siap menyergap siapa saja yang melewati daerah tersebut. Orang - orang dari Bandung utara merasa takut melewati daerah hutan itu sendirian, jadi di daerah Dago mereka nongkrong sambil nunggu teman dan supaya bisa pergi ke kota Bandung bersama sama. Dagoan dalam bahasa sunda berarti menunggu dari situlah mencul istilah jalan Dago sebagai tempat mereka nongkrong menunggu "teman seperjalanan"untuk pergi ke kota Bandung. 

      Baru pada tahun 1910 daerah tersebut dibuka karena pemerintah Belanda pada waktu itu sedang memeperluas wilayah kota Bandung ke arah utara. Orang orang membuka lahan dan sawah di daerah Dago, bahkan sampai menyiapkan reservoir air minum di daerah Dago pakar.


wilayah Dago setelah mengalami perubahan

Curug Dago tahun 1880 masih terlihata asri dan bersih
    
    Salah satu tempat yang cukup menarik di daerah Dago adalah Curug Dago Air Terjun atau Curug Dago atau terletak sekitar 1 kilometer di sebelah selatan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Tinggi air terjun ini hanya 15 meter, namun aliran deras sungai Ci Kapundung serta bentuk curugnya menimbulkan suara yang cukup membahana di sekitarnya. Sebagian kalangan menganggap curug ini memiliki kesan magis dan menganggapnya keramat.









Curug dago tempo dulu
     Salah seorang yang tertarik dengan keindahan dan suasana mistik Curug Dago adalah seorang raja dari Thailand yang sedang berkunjung ke Bandung, yaitu Chulalongkorn bergelar Rama V beserta anaknya Pangeran Pravitra Vandhanodom. Mereka mengunjungi Curug Dago pada tahun 1902. Dari Hotel Homann tempat menginap, mereka mengunjungi Curug Dago dengan mengendarai kuda. Dalam kunjungannya itu Raja Thailand meninggalkan sebuah prasasti bertuliskan nama sang raja, beserta umur serta tahun kunjungan yang ditulis dalam penanggalan dan bahasa Thailand.

      Prasasti ini masih dapat dilihat sekarang berdampingan dengan sebuah prasasti lain tinggalan cucu sang raja, yaitu Pangeran Prajatiphok Paramintara (Rama VII) yang menapaktilasi kunjungan kakeknya pada tahun 1929. Kedua prasasti ini lama tak diketahui keberadaannya sampai ditemukan kembali pada tahun 1989. Menurut Bhiksu Prawithamtur dari Vihara Menteng Jakarta yang juga pernah mengunjungi Curug Dago tahun 1989, “Apabila seorang raja Thailand bersemedi dan menuliskan namanya di suatu tempat, maka selain untuk kenangan, biasanya panorama alam pada lokasi itu indah, juga dianggap suci dan keramat.” sebagaimana dikutip dari https://mooibandoeng.wordpress.com/2013/05/27/tahura-ir-h-djuanda-dan-plta-bengkok/

    
   

   
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
       Taman terbesar yang pernah di bangun pada masa pemerintahan Hindia -Belanda. Taman ini berbentuk hutan lindung yang pada awalnya dinamai Hutan Lindung Gunung Pulosari. pembuatan taman ini sudah mulai dirintis dari tahun 1912 bersamaan dengan pembangunan terowongan penyadap aliran sungai Ci Kapundung, yang kemudian diresmikan pada tahun 1922. Baru pada tanggal 14 Januari 1985 taman hutan diresmikan oleh Presiden Soeharto sebagai Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Tanggal peresmian ini memang bertepatan dengan hari kelahiran Pahlawan Kemerdekaan, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, seorang tokoh nasional yang pernah memangku 18 jabatan menteri dalam rentang waktu antara 1946-1983. Hingga taman ini kemudian dikenal sebagai taman Ir. H. Djuanda. 
      Letak Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda berada di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, pada ketinggian antara 770 mdpl sampai 1330 mdpl. Di atas tanahnya yang subur terdapat sekitar 2500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112 species. Pada tahun 1965 luas taman hutan raya baru sekitar 10 ha saja, namun saat ini sudah mencapai 590 ha membentang dari kawasan Pakar sampai Maribaya.


Gua Belanda
      Masih di dalam taman Ir.H. Djuanda, terdapat gua gua yang memiliki nilai historis, yaitu gua belanda dan gua jepang. Gua Belanda mulai dibangun pada tahun 1912 dengan membobol bukit di sisi aliran sungai Ci Kapundung. Fungsi awalnya adalah sebagai saluran penyadapan aliran sungai untuk keperluan pembangkit tenaga listrik. Tahun 1918 tampaknya ada perubahan atau penambahan fungsi gua karena di dalam gua ditambahkan ruang-ruang dan cabang lorong hingga panjang keseluruhan gua mencapai 547 meter. Tinggi mulut gua 3,2 meter dan jumlah cabang lorong 15 buah. Beberapa ruang tampak seperti ruang tahanan. Setelah terjadinya perubahan fungsi, maka dibuatlah jalur air yang baru menggunakan pipa-pipa besar yang ditanam di bawah tanah kawasan Tahura. Kemungkinan Belanda juga menjadikan gua ini sebagai tempat penyimpanan mesiu. Saat masuknya tentara Jepang, Belanda sempat menggunakan gua ini sebagai Pusat Telekomunikasi Militer Hindia-Belanda bagi tentaranya.





Gua Jepang.
     Pada masa penjajahan Jepang, fungsi gua sebagai gudang penyimpanan senjata dan mesiu dilanjutkan sambil menambahkan gua-gua baru lainnya di dekatnya (1943-1944) yang belakangan disebut sebagai Gua Jepang. Untuk membangun gua ini, Jepang menerapkan kerja paksa (romusha) pada penduduk saat itu. Gua-gua ini kemudian juga menjadi tempat pertahanan terakhir Jepang di Bandung. Setelah kemerdekaan RI gua-gua ini tidak terperhatikan dan baru ditemukan kembali pada tahun 1965 dengan kondisi tertutup alang-alang dan tetanaman yang lebat. Saat itu di dalam gua banyak didapati amunisi bekas tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Sejak ditemukannya, Gua Jepang masih berada dalam kondisi aslinya sementara Gua Belanda sudah mengalami 3 kali perbaikan.

    Pada rentan tahun 1920 - 1940an pemerintah Benlanda sedang giat giatnya membangun. Munculnya rencana untuk memindahkan Ibukota ke Bandung dari Batavia membuat para pemerintah Belanda merasa perlunya sarana sarana penunjang dan salah satunya adalah sarana pendidikan. Salah satu bangunan yang mewadahi kegiatan belajar-mengajar yang cukup kesohor di masa itu adalah komplek Sekolah Menengah Atas Kristen Dago atau dikenal juga dengan SMAK DAGO. Bertempatan di jalan Dago no 93, SMAK DAGO memiliki aula yang sangat terkenal, yaitu Lyceum Dago. Lyceum memiliki artian "Bangunan yang mewadahi kegiatan publik seperti konser, pertemuan, seminar, dll" istilah ini muncul pada 335 SM sebagai nama sekolah yang didirikan oleh seoran filsuf terkenal yaitu Aristoteles.


Lyceum Dago atau SMAN 1 bandung sekarang.




       Meski SMAK Dago telah didirikan pada tahun 1927, Aula Lyceum sendiri baru didirikan tahun 1939 bersamaan dengan renovasi besar-besaran yang merombak seluruh bangunan asli sekolah. penanggung jawab perancangan proyek ini adalah J.S. Duyvis, seorang arsitek spesialis bangunan pendidikan. Bersamaan dengan berkembangnya reputasi sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan swasta terbaik di Bandung pada masa itu, Aula Lyceum karya Duyvis pun kemudian menjadi salah satu ikon pergaulan sosial di kalangan pelajar dan masyarakat Bandung pada waktu itu.
     Nama Lyceum sendiri kemungkinan besar diambil dari nama Het Christelijk Lyceum (HCL), yayasan Kristen Belanda yang menjadi pendiri sekaligus pengelola pertama SMAK Dago pada tahun 1927. Nah, nama Christelijk Lyceum itu sendiri  diadopsi juga sebagai nama resmi sekolah Hingga tahun 1958. Namun dikarenakan semangat nasionalisasi di indonesia, maka sekolah ini harus berganti  nama menjadi SMAK Dago seperti yang dikenal sekarang.

Dago Tea House dengan view Daerah Dago tempo dulu

      Kenal dengan foto diatas? kalo kenal berarti anda hebat. Foto diatas adalah Dago Tea house atau dago tee huiiz. dikutip dari trianhutaria1206.blogspot.com, Dago tea house atau sekarang dikenal juga dengan nama taman budaya Jawa Barat, berada di kawasan Bukit Dago utara Bandung yang berudara dingin dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Nama Dago Tea House atau Dago Tee Huizz sendiri sudah ada sejak zaman Belanda. Bangunan restoran ini berdiri dari ihwal kebiasaan para noni dan meneer Preangerplanters  menikmati saat minum teh sambil bercengkrama bersama keluarganya, dan menikmati pemandangan Kota Bandung dari ketinggian.

     Para pembesar Belanda yang datang ke Dago Tea House juga bertujuan memilih teh-teh terbaik dari seluruh Priangan untuk dijadikan komoditas unggulan mereka. Lokasi Dago Tea House dirancang menghadap ke arah Gedung Sate di pusat Bandung, sedangkan sedikit ke arah kanan, pemandangan diarahkan ke Kompleks Hotel Savoy Homan. Di restoran kecil ini terdapat tempat bermain anak yang masih dipertahankan hingga kini. Sementara bangunan restorannya menjadi tempat teater terbuka dengan restorasi kafetaria “Boga Kuring” di sebelahnya.

   Pada era kemerdekaan, pada tahun 1960an Presiden RI pertama Ir. Soekarno pernah "niis" (beristirahat) di Dago Tea House. Kemudian tradisi ini dilanjutkan  oleh Presiden RI kedua Soeharto, yang berkunjung ke sana setelah peringatan Konfersi Tingkat Tinggi Gerakan Nonblok (KTT Nonblok) pada tahun 1992. Waktu itu, Soeharto mengharapkan pembangunan gedung-gedung di bawah Dago Tea House tidak menghalangi pemandangan ke bawahnya. Sampai-sampai pepohonan pun disesuaikan tingginya oleh Pemerintah Jawa Barat. Sayangnya imbauan itu sudah tak berlaku lagi sekarang.

     Nah sekarang kita tahu kenapa sih daerah ini disebut dengan Dago, yang ternyata asal usul katanya berasal dari "Dagoan" atau tungguin kalo bahasa slanknya mungkin ya? nah, semoga catatan kecil ini bisa bermanfaat membantu memberikan informasi mengenai seluk beluk daerah Dago agar kita lebih mengetahui mengenai Bandung, kota tercinta kita.















































http://www.academia.edu/4281554/A1_NEWEDITBAB1_3
http://himse89.blogspot.com/2012/02/jalan-dago.html
Dago 1920 (sumber:Bandung Tempo Doeloe)
https://tirairana.files.wordpress.com/2010/07/bandung-dago-thee-huis.jpg 
http://archive.kaskus.co.id/thread/3678285/0/tempat-para-penikmat-foto-foto-djadoel
http://www.infobdg.com/v2/wp-content/uploads/2014/02/003-curug-dago.jpg
http://buanapatratrans.blogspot.com/
http://archive.kaskus.co.id/thread/3678285/0/tempat-para-penikmat-foto-foto-djadoel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Balai Kota Bandung, Kisah sebuah Gudang Kopi

Balaikota Bandung... Sebuah gedung yang bernuansakan Putih, yang berada di Jalan Wastukancana. Gedung yang juga diapit oleh Jalan Ace...